Emosi Bikin Sakit Hati
Oleh : Firman Widyawan
Kelas : XI IPA 2
Ini adalah sebuah kisah nyata yang pernah aku alami dalam hidupku. Cerita ini benar-benar telah membuat aku menyesal dan berjanji untuk tidak mengulanginya untuk yang kedua kali. Cerita ini terjadi sekitar satu bulan yang lalu. Pagi itu, kebetulan aku mendapat tugas bersama teman sekelompokku sebagai petugas korvee daun. Memang sudah menjadi kebisaaan bagi kami warga asrama, yang setiap harinya sebelum berangkat sekolah harus bersih-bersih lingkungan. Ada yang mendapat tugas dinas dalam, korvee daun dan sebagian yang lain ikut apel pagi dengan Pembina.
Seperti bisaanya, setelah selesai kegiatan shubuh di masjid aku bergegas salin, dan mengambil sapu lidi untuk segera melakukan korvee daun. Kami melakukan korvee sepanjang jalan depan tiang bendera asrama turun ke bawah hingga tiba di depan kantor Bina Siswa SMA Plus. Waktu itu, hanya ada beberapa orang dari teman sekelompokku yang sudah mulai bekerja. Mereka kebanyakan memilih bekerja langsung disektor depan kantor, karena menganggap disana lebih banyak daunnya dibandingkan dengan sektor lain. Aku pun bingung, mengapa mereka tidak mencoba untuk membersihkan sektor depan tiang bendera dahulu, padahal disektor itu pun daun-daunya banyak yang berserakan dimana-mana. Karena aku menganggap sudah terlalu banyak orang yang menyapu disektor depan kantor, sedangkan didepan tiang bendera tidak ada satupun orang yang menyapu.
Akhirnya, aku lebih memilih menyapu di sepanjang jalan depan tiang bendera hingga ke pertigaan bawah. Biarinlah nanti juga bakal ada yang datang untuk membantu , pikirku dalam hati. Aku pun mulai menyapu setiap sisi-sisi jalan yang sudah banyak daun-daun yang berserakan sedari tadi. Lama sekali aku menyapu sepanjang sisi-sisi jalan itu. Aku pun jadi kesal, karena sejak tadi aku menyapu tapi tidak ada satu pun teman yang datang untuk membantuku. Ada satu orang datang, malah pergi ke sector depan kantor. Satu orang datang lagi, lagi-lagi pergi ke depan kantor. “Kenapa ya, mereka gak ada yang mikir kalau disini justru lebih memerlukan bantuan.”, ucapku pelan. Kemudian aku berfikir,lebih baik aku segera menyelesaikan pekerjaan itu hingga pertigaan bawah, setelah itu aku kembali ke asrama dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. “ awas aja, kalau mereka marah karena aku ke asrama duluan. Mereka harusnya mikir dong, masa dari tadi aku nyapu gak ada satu pun orang yang ngebantuin. Padahal, aku juga tahu kebanyakan dari mereka Cuma sebatas megang sapu doang, lalu setelah itu kembali lagi keasarama” ucapaku pelan dengan nada sedikit kesal.
Selama aku menyelesaikan pekerjaanku itu sendirian, aku terus memikirkan kelakuan teman-temanku yang sama sekali tidak ada rasa empati untuk membantuku. Terlebih, aku memikirkan kenapa aku bisa sekelompok dengan orang-orang yang tak punya rasa kepedulian sama sekali untuk saling membantu. Aku pun terkadang iri dengan kelompok lain, yang setiap kali mereka kebagian tugas untuk korvee, mereka itu selalu kompak dan memulai pekerjaannya bersama-sama, dari sektor depan tiang bendera sampai kedepan kantor pun dilakukannya bersama-sama dan pekerjaannya pun jadi cepat selesai. Tapi, kok kenapa kelompok aku tidak bisa seperti itu ya!
Aku terus mengeluh dalam hati, sambil menahan rasa kesal yang sedari tadi membendung dalam hati. Hingga, saat aku sampai di pertigaan bawah. Aku melihat segerombolan teman-teman kelompokku yang lain datang secara bersamaan sambil membawa sapu mereka. Mereka akan kembali ke asrama karena mereka pikir tugas mereka untuk menyapu sudah selesai, dan untuk soal yang memungut sampahnya sudah ada temanku yang kabagian jatah. Aku pun semakin kesal lihat sikap mereka yang dari jauh tampak bisaa-bisaasaja, tak terlihat ada sedikit rasa bersalah sedikitpun. Minta maaf kek, karena gak ngebantuin atau apalah asalkan hati aku yang sudah menjadi bom atom ini tidak jadi meldak beberapa detik kemudian. Tiba-tiba salah seorang dari temanku berkata. “ wah, kamu telat tuh. Kamu harus ngambilin sampah sana!...hahaha”, katanya sambil tertawa. “enak aja kalian tuh yang seenaknya aja!”, kataku sambil berteriak. Aku masih mencoba menahan emosiku agar bom atom ini benar-benar tak jadi meledak. “seenaknya bagaimana, kamu yang dari tadi nyapu sendirian. Gak mau ngebantuin. Disana, banyak tahu!”, katanya lagi dengan nada sedikit memojokkanku. Kali ini, aku benar-benar gak bisa lagi menahan rasa kekesalanku yang sejak tadi aku pendam. “hah, kalian tuh yang kemana aja. Masa dari tadi gak ada satupun orang yang ngebantuin. Udah tahu daunnya banyak. Ini malah seenaknya aja ngelewat kaya gak punya mata. Lagian kalau aku gak ngebersihin jalan disitu terus siapa lagi gitu. Dari tadi aja malah gak ada yang peduli. Kalian mikir gak sih!!”, kataku dengan nada emosi. “ hahahaha”. Mereka malah ngetawain aku. Aku gak ngerti kenapa mereka ketawa. “ eh, men biarin aja jalan disitu mah ntar juga bakal disapuin”, kata seorang temanku yang lain. “okeh, kalau gitu ntar kalau korvee daun lagi aku gak akan korvee disitu lagi. Aku mau tahu ada gak diantara kalian yang mau nyapuin jalanan itu” katakau seraya memberikan pembelaan. “eh, lo ngomong apa sih? Udah jangan dengerin kata-kata piment. Dia tuh lagi haid makanya marah-marah terus..hahahha”, kata salah seorang temanku yang lainnya lagi seakan –akan membawa suasana perdebatan ini jadi sebuah lelucon belaka. Aku pun jadi speechless, gak tahu lagi mau ngomong apa. Teman-temanku masih menertawakanku sambil berjalan menuju ke asarama.
Aku yang masih kesal karena sikap teman-temanku tadi. Hanya bisa diam dan gak tahu mau ngapain. Padahal, pekerjaanku sudah selesai. Niatku yang tadinya ingin kembali ke asrama setelah menyelesaikan pekerjaan ku pun jadi kuurungkan. Lalu, aku melihat temanku, jamal sedang memunguti sampah. “mungkin aku tenangin fikiran aku sambil ngebantuin jamal ngambilin sampah aja”, kataku. Aku pun langsung menghampiri jamal dan membantunya memunguti sampah yang tadi sudah dikumpulkan. Sekilas, teringat sikapku tadi terhadap teman-temanku. Aku marah-marah tanpa kendali. Niat mau kasih tahu yang benar, tapi malah diketawain. Gara-gara aku esmosi, semuanya jadi bikin sakit hati. Memang, sakit hati ini bila terus mengingat apa yang dikatakan oleh temanku tadi. Aku dibilang gak kerjalah, kerjaku seenaknya ajalah, aku dibilanglagi haid-lah. Benar-benar makan hati sejadi-jadinya.Aku pun mencoba untuk menerima kejadian barusan sebagai tamparan keras buatku agar tidak bersikap emosional lagi. Apalagi, seperti marah-marah yang barusan. Benar-benar memalukan. Bukannya kebaikan yang diterima malah keburukkan yang diterima. Naudzubillahimindzalik…
Dari pengalaman itu aku pun jadi banyak belajar, belajar supaya aku bisa lebih mengontrol diri aku . Seandainya saja aku mau bersikap ikhlas akan pekerjaan yang aku kerjakan pada waktu itu, tentunya aku tidak akan merasa kesal, meskipun tidak ada satupun temanku yang membantu. Pekerjaan aku pun akan cepat selesai, dan aku pun bisa kembali ke asrama dengan cepat, karena dengan pekerjaan yang banyak padahal tenaga ahlinya sedikit, pastinya teman-temanku mau menerima pemikiranku bahwa jatah pekerjaanku hanya setengah dari perjalanan mereka. Kenapa aku gak bisa berpikir positif kaya gitu ya. Hahaha…
Selanjutnya,, mengutarakan kebaikan dengan sebuah emosi itu tidak akan memberikan efek yang cukup berarti,. Malahan yang ada efek sakit hati yang timbul. Jadi, ilfiil sendiri deh. Intrinya, kita itu harus mampu untuk mengendalikan diri. Kita harus bisa menyesuaikan diri kita dalam berbagai lingkungan. Dengan emosi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Semoga, cerita tadi sedikitnya bisa memberikan gambaran untuk kita bahwa bertindak emosional itu tidak baik,. Maka dari itu, perlu bagi kita untuk mengendalikan diri kita, agar kasus yang aku alami dalam cerita barusan, setidaknya tidak terjadi pada teman-teman semua dan tidak menyesal seperti apa yang aku rasain sampai saat ini. Amin
Terima kasih karena sudah mau membaca/mendengarkan cerita saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar